Liburan kemarin, tepatnya hari minggu yang tanggalnya aku lupa. Aku dan keluargaku mempunyai rencana pergi berlibur, tepatnya ke Yogyakarta. Hari itu aku bangun kesiangan, aku tidak mengetahui rencana liburan itu. Sehingga, aku pun seperti merasa tidak berdosa bangun kesiangan dan menunda keberangkatan, tapi, setelah ku tahu bahwa aku diajak ke Yogyakarta, aku pun bergegas ke kamar mandi dengan muka setengah sadar ditemani mataku yang masih berusaha menaikkan tegangannya agar 100% terbuka untuk membersihkan badan.
Akhirnya, sekitar pukul 09.00 aku pun sudah ready untuk berangkat. Aku berlibur bersama keuargaku dan keluarga Pakdheku. Keberangkatanku itu terjadi cukup cepat, seperti agen yang menjemput client, setelah mobil pakdheku nampak didepan rumah, tanpa sepatah kata terucap di bibir, kaki langsung bergerak melangkah ke singgasana keberangkatan agar sampai lebih cepat. Karena pakdheku orang yang to the point, sekejab mobil yang kunaiki menjadi sensasi offroad yang tak kenal jalan mulus karena melewati jalur alternatif. Melewati desa-desa, jalan naik-turun dan tentunya jalan tidak rata. Akantetapi itu menjadi sensasi tersendiri, karena hanya dengan 1 jam lebih 30 menit, kami sekeluarga sudah memasuki Yogyakarta. Keberangkatan yang pukul 09.00 itu melupakan kami semua akan sarapan. Jadi, kami mampir di rumah makan yang saya lupa namanya. Kami memesan ayam mutilasi yang dikeluarkan darahnya untuk selanjunya diletakan di suhu tinggi,atau biasa disebut Ayam Goreng. Tempat kami makan pun cukup nyaman, dengan diiringi instrument dapur yang berbunyi “sreek… sreek…” ataupun “cess…cess…” kami sekeluarga menikmati saat-saat sarapan itu.
Sekitar 1 jam sebelum tengah hari atau tepatnya pukul 11.00, aku dan keluargaku telah selesai menyelesaikan misi sarapan. Akhirnya kami melanjutkan misi utama kami, yaitu Malioboro, yang berasal dari bahsa sansekerta yang artinya karangan bunga. Perjalanan cukup memakan waktu, karena banyaknya mobil yang ada di jalan membuat macet. Jadi, sekitar pukul 12.30 kami baru sampai di Malioboro. Akhirnya setelah sampai, mobil langsung diparkirkan dan seluruh penghuni mobil itu keluar untuk menikmati ramainya Jalan Karangan Bunga itu. Penjual cinderamata dan barang apapun seperti berkumpul menjadi satu. Mata dimanjakan dengan indahnya beragam yang dijual oleh penjual disana.
Aku dan seluruh keluargaku menyusuri jalan Malioboro, pertama kami berhenti di penjual aksesoris. Aksesoris disana sangat beragam, ada kalung, gelang maupun sandal. Akhirnya perjuangan tawar menawar pun dimulai. Saat menawar itu, keluargaku menawar dengan harga 50% dari harga asli. Namun, karena sepertinya penjual merasa rugi, barang puntetap dipertahankan. Tawaran pun di naikkan, sekitar 70% dari harga yang diminta penjual tadi. Tetapi, penjual pun tetap tidak mau, ia hanya berani menurunkan harga 20%. Akhirnya kami semua tidak jadi beli .
Penyusuran pun dimulai kembali, aku dan keluargaku berjalan dan terus berjalan. Menyusuri jalan karangan bunga di jantung kota Jogja itu. Akhirnya pandangan mata kakak sepupuku tertuju pada satu kalung yang dijual salah satu penjual disana. Penawaran terjadi lagi, jika diingat, dialognya kalau tidak salah seperti ini.
“Pak, ini kalungnya berapa?”, tanya kakak sepupuku.
“Kalau yang besar ini 40 ribu.”, jawab sang penjual.
“Ga bisa kurang Pak? Lima belas ribu?”, tanya kakak sepupuku kembali sambil menawar.
“Waduh, ga bisa dik. Tiga puluh ribu berani.”, jawab penjual.
“Lima belas ribu.”, tawar kembali kakak sepupuku.
“Dua puluh lima kalau gitu.”, sahut penjual.
“Ya udah Pak, ga jadi”, jawab kakak sepupuku sambil melangkahkan kakinya pergi.
Tapi tiba-tiba terdengar lagi suara.
“Dik dik! Lima belas ribu ga pa pa.”, teriak penjual saat kakak sepupuku berbalik.
Akhirnya, kakak sepupuku memenangkan pertarungan sengit ini. Dengan berhasil menurunkan harga 62.5%. Sungguh sangat mengesankan bagiku.
Perjalanan pun dimulai kembali, kami berjalan dan terus berjalan. Tetapi, entah kenapa setiap ada Mall pada suatu kota. Pasti ingin dikunjungi. Jadi, aku dan keluargaku memasuki Mall itu. Saat aku melihat orang yang ada di dalam Mal itu aku berpikir. Orang yang membeli barang di Mall berani membeli banyak barang. Padahal kalau di luar tadi kalau tidak cocok dengan tawarannya tidak jadi beli, kenapa bisa begitu? Itulah misteri perbelanjaan.
Setelah keluar dari Mall, kami semua sudah membawa barang yang diinginkan. Kecuali aku, karena aku tidak ada niat membeli apapun. Akhirnya, kami kembali ke mobil untuk pulang. Tapi, aku saat perjalan melihat seseorang, berbaju nyentrik dengan membawa tas. Dan disebut pakdheku, Senthot. Apakah kau tau Senthot? Orang yang biasa di Lampu Lalu Lintas yang ada di kota-kota. Itulah yang membuat perjalanan pulang berbeda.
Setelah 2 jam berlalu, aku telah sampai di Wonogiri. Dengan wajah sangat senang, akupun memasuki rumahku dan cerita ini pun selesai.
0 komentar:
Posting Komentar